Monday, June 20, 2005

Liburan di Meja Kerja

Belok kiri di pertigaan Bantulan dan melajulah saya di jalan Godean. Terasa semilir angin yang membawa wangi merang dari tempat pembakaran batu bata yang bertebaran di kiri-kanan jalan. Motor saya terus melaju, sesekali mendahului omprengan tua yang tertatih-tatih kelebihan muatan atau petani yang bersepeda sambil membawa cangkul di boncengannya.

Mata saya berpesta dengan sawah-sawah, saluran irigasi dan pohon akasia yang berderet sepanjang jalan. Warung-warung dari bambu yang menjual mie ayam dan jajanan ala kadarnya. Saking ndesonya, saya merasa mie ayam dengan tomato ketchup produksi perusahaan antah berantah yang disajikan di warung-warung tengah sawah itu lebih nikmat dari spaghetti bolognaise Pizza Hut.

Dan sampailah saya di perempatan pasar Godean. Jalan ke kiri membawa saya ke Argomulyo, ke kanan ke Mlati, dan jika lurus terus ke Kulonprogo, yang menjadi tujuan saya. Lampu merah memaksa saya berhenti di antara bis tiga per empat jurusan Jogja-Dekso dan seorang bapak tua yang mengendarai sepeda lengkap dengan keranjang di kiri-kanannya. Sore itu pelataran pasar penuh dengan penjual keripik belut dan keripik bayam, kudapan nasional Republik Godean. Ada yang ditempatkan di dalam etalase kaca sederhana, tetapi sebagian besar ditumpuk menggunung di tampah bambu. Seorang ibu berkacamata hitam turun dari Kijang barunya mulai bernegosiasi dengan sang bakul. Saya tidak tahu apakah negosiasi itu berujung kepada kesepakatan jual-beli karena lampu keburu hijau dan bunyi klakson motor dari belakang mengingatkan saya untuk meneruskan perjalanan.

Bulak demi bulak saya lewati. Bagi yang belum tahu, bulak adalah istilah orang Jawa untuk selajur jalan panjang yang di kiri-kanannya hanya terdapat persawahan atau tegalan, zonder pemukiman. Adalah merupakan suatu kemalangan kecil bagi setiap pengendara yang pecah ban, kehabisan bensin atau mogok di tengah bulak di malam hari karena biasanya mereka harus menuntun motor cukup jauh untuk mendapatkan pertolongan. Kemalangan besar adalah jika dalam keadaan sedemikian mereka masih harus bertemu seorang wanita bergaun putih dan berambut panjang yang kakinya tidak menjejak tanah.

Jalan aspal mulus mulai menurun dan saya pun tahu kalau sebentar lagi saya akan menyeberangi Kali Progo. Jembatannya lebar dan agak panjang dengan tonggak-tonggak sepinggang yang dicat kuning. Karena ini adalah musim kemarau, sungai Progo hanya terisi separuhnya. Separuh yang lain menunjukkan permukaan yang penuh batu kali yang kemudian diangkut oleh truk-truk tanggung untuk dijual ke Jogja atau Muntilan. Laju motor yang dibantu oleh gravitasi bumi membuat saya dalam waktu sekejap berpindah dari wilayah Kabupaten Sleman ke Kabupaten Kulonprogo. Welcome to West Progue.

Setelah melewati terminal Kenteng yang sepi karena pada saat pembangunannya tidak memperhitungkan bahwa penumpang bisa lebih suka menunggu di perempatan daripada harus berjalan kaki seratusan meter ke terminal, tibalah saya di perempatan Kenteng. Ke kiri ke Wates sedangkan ke kanan Muntilan. Lurus, yang menjadi tujuan saya, adalah ke perbukitan Menoreh.

Seusai menyeberang perempatan, saya menjumpai pasar Kenteng yang sudah sepi pengunjung. Mungkin hari itu bukan hari pasaran atau memang karena sudah menjelang sore saya tak tahu persis. Yang ada hanya pedagang atau entah siapa yang tiduran atau sekadar bersandar melepas lelah di los-los pasar yang kosong. Pedagang cendol di pintu masuk pasar duduk mencangkung di kursi bambu dan merokok bersama, lagi-lagi, tukang mie ayam. Terkadang saya berpikiran bahwa jika ada kontes pemilihan makanan nasional, maka saya dengan sepenuh hati akan mengusulkan mie ayam karena di republik ini kemanapun kita melayangkan pandangan di situ ada tukang mie ayam.

Perhatikan semangkuk mie ayam. Mari kita pisahkan elemen-elemen yang membuatnya menjadi mie ayam. Pertama adalah mie yang terbuat dari gandum. Kedua adalah ayam cincang. Dan ketiga, bumbu yang terdiri dari campuran rempah-rempah dan minyak. Ketiga hal tersebut adalah elemen dasar mie ayam yang seragam di mana-mana, mulai dari mie ayam pasar Kenteng sampai mie Gajah Mada. Elemen lain seperti kaldu, sawi hijau, sambal botol, kecap, acar, dan kerupuk hanyalah bersifat pilihan. Satu-satunya kelainan, jika bisa dikatakan demikian, adalah sebuah warung di daerah Wonosari, Gunung Kidul, yang menyajikan paha ayam utuh sebagai pengganti ayam cincang. Itupun terpampang jelas di spanduk yang mewartakan menu warung itu; ‘Mie Paha’, bukan ‘Mie Ayam’.

Keseragaman inilah yang semakin menguatkan keyakinan saya bahwa mie ayam adalah makanan yang lebih nasional jika dibandingkan dengan, soto. Soto memang ada di mana-mana, tetapi variannya terlalu banyak. Soto Lamongan yang berkuah santan misalnya jauh berbeda dengan soto Jogja yang bening dan nyaris tanpa rasa. Belum lagi soto Padang yang dagingya digoreng kering, soto Banjar yang dilengkapi perkedel, soto Madura yang menyertakan sebutir telur rebus utuh, dan soto Banyumas (wilayah yang mencakup Sokaraja, Purwokerto, Purbalingga, dan tanah air saya, Cilacap) yang, menurut saya, menghidangkan surga di setiap mangkuknya. Mohon maaf jika saya menyimpang terlalu jauh dari tema utama tulisan saya ini.

Kenteng dengan segala kesepiannya lewatlah sudah dan di depan mata saya perbukitan Menoreh berjajar dengan anggunnya. Daerah perbukitan yang menjadi setting serial silat legendaris Api di Bukit Menoreh yang menurut bapak saya, sebagai salah satu pecandu berat serial tersebut, ceritanya tidak selesai karena sang pengarangnya, SH Mintaredja, keburu meninggal tanpa meninggalkan kerangka cerita selanjutnya.

Setelah melewati tanjakan-tanjakan pendek dan menengah dan mengambil ancang-ancang yang cukup jauh, motor bebek saya meluncur untuk menaklukan tanjakan yang paling menantang. Tanjakan itu sebenarnya tidak curam; hanya panjang dan tanpa bonus jalan datar. Belum sepertiga tanjakan, tenaga motor saya yang memang ala kadarnya itu sudah terkuras habis. Bendera putih dikibarkan dan saya pasrah menempuh sisa tanjakan dengan persneling 1, sedikit lebih cepat dari orang jalan kaki. Pada saat seperti ini saya selalu teringat pepatah orang Jawa “alon-alon waton kelakon, gremat-gremet asale slamet”. Toh puncak bukit itu tak akan kemana.

Hampir sunyi. Hanya lamat-lamat suara loudspeaker surau yang menyetel kaset pengajian entah dimana. Jogja terasa jauh. Sejauh mata saya memandang hanya pepohonan yang terlihat, baik yang masih berdaun ataupun yang sudah meranggas. Saya sempat menghitung paling tidak ada empat pohon durian nun jauh di bawah sana. Pohon itu paling gampang dikenali karena daunnya berwarna hijau keperakan. Petak-petak sawah seperti papan catur yang tidak beraturan, antara kuning padi dan merah tanah sisa panen. Bau rumput kering dan bau-bauan kemarau lainnya menguap dari tanah di sekitar saya, di puncak bukit yang saya tidak tahu namanya. Sanctuary saya.

Samar-samar saya mendengar suara orang memanggil nama saya. Bagaimana mungkin? Lambat laun makin jelas. Ko! Eko! Konsep bahan rapat lu ditunggu Kabag lu tuh! Saya membuka mata dan melihat jam. Hm. Waktu makan siang sudah usai 5 menit yang lalu. Kembali ke dunia nyata. Kembali ke Jakarta.

2 comments:

holiday_sendiri said...

i've never read your writing in indonesian. and i adore it all the same!!

hah! said...

Oh, what a man...