Friday, February 03, 2006

Tong Setan

Ada pasar malam di lapangan dekat rumah sakit tempat istri saya biasa memeriksakan kandungan. Jadi semalam setelah diceramahi panjang lebar, tinggi dan dalam, tentang pentingnya minum susu bagi ibu hamil, kami iseng-iseng mampir.

Baru beberapa menit, istri saya sudah menyeret saya ke arah penjual arum manis, itu lho, yang bahasa Inggrisnya 'cotton candy'. Terus terang, saya tidak terlalu suka makanan yang mayoritas berwarna pink itu karena diantara semua makanan yang pernah diciptakan manusia, penampilan arum manis adalah yang paling menipu. Lha bagaimana tidak, wujudnya yang sebesar bantal itu akan kempes tak lama setelah plastiknya dibuka dan berubah menjadi sesuatu yang manis, lengket, dan sama sekali tidak mengenyangkan. Belum lagi higinitas dan legalitas zat pewarna yang dipakai. Tapi hal-hal tersebut tampaknya bukan menjadi halangan bagi istri saya, dan sebelum saya memahami sepenuhnya apa yang terjadi, ia sudah memegang sebuah arum manis ukuran besar sambil memandang saya dengan senyum penuh kemenangan.

Pasar malam itu sendiri tidak terlalu besar. Di dekat jalan masuk banyak permainan yang aneh-aneh. Satu stand menawarkan sirup, rokok, dan sabun mandi bagi siapapun yang berhasil membuat botol teh botol berdiri dengan bantuan gelang plastik yang diikatkan ke sejenis joran pancing. Stand yang lain menawarkan alat-alat rumahtangga bagi yang berhasil memasukkan bola pingpong ke deretan gelas. Belum lagi catur tiga langkah yang pasti akan membuat Gary Kasparov geleng-geleng kepala karena dalam satu papan bisa terdapat lima menteri, enam bidak, dan empat benteng. Bayar seribu jalan tiga langkah. Hitam mati, bawa pulang dua bungkus rokok. Remis menang bandar. Buka kunci duapuluhlima ribu rupiah.

Di ujung lapangan ada stand rumah hantu dari tripleks bergambarkan berjenis-jenis hantu yang beberapa diantaranya pernah menjadi atraksi utama di mimpi buruk saya semasa kecil. Sampai kapanpun saya tidak akan masuk ke tempat terkutuk itu. Aneh juga kalo dipikir bahwa orang bersedia membayar untuk ditakut-takuti oleh hantu yang bahkan bukan hantu betulan. Lebih baik nongkrong di kuburan, gratis.

Di samping rumah hantu ada stand komidi putar yang dipenuhi oleh anak-anak yang merengek-rengek pada orang tuanya minta dibelikan tiket masuk. Di sebelahnya ada stand kincir air yang memutar lagu dangdut kencang-kencang, bersaing dengan stand-stand lain. Terakhir kali saya naik kincir air adalah waktu kuliah dulu di Sekaten, alun-alun utara Jogja. Istri saya, waktu itu masih pacar, ketakutan setengah mati karena merasa stand itu bisa roboh sewaktu-waktu dan alih-alih bersimpati, saya tidak bisa menahan tawa. Dan selama dua hari setelahnya ia tak mau menanggapi bujukan saya.

Bau rumput lapangan bercampur dengan wangi berondong jagung dan asap generator. Tukang mainan parasut melemparkan dagangannya ke udara. Dengan payung terkembang, tentara kayu mendarat perlahan di antara gelembung-gelembung sabun yang ditiup penjualnya. Nah, di antara semua itu, hal yang paling menarik perhatian saya adalah stand yang ada di paling ujung.

Bayangkan sebuah ember kayu yang tingginya sekitar enam meter. Nah, stand yang saya maksud kira-kira bentuknya seperti itu. Dari dalam terdengar bunyi raungan motor yang jauh dari merdu. Si announcer mengiklankan stand itu sebagai 'Tong Setan', walaupun saya tidak yakin letak setannya ada di sebelah mana, dan mengatakan sesuatu tentang 'menentang maut'. Entah mengapa saya jadi tertarik, dan dengan diiring pandangan protes dari istri saya, saya bejalan ke arah loket.

Begitulah, setelah membeli tiket, kami naik ke panggung melingkar di bibir ember raksasa itu. Untuk sampai ke atas kami harus naik tangga spiral yang terus terang kondisinya agak memprihatinkan. Namun untunglah tangga besi itu masih sanggup menahan berat badan saya yang naik 15 kilo sejak saya pindah ke Jakarta.

Di atas sudah menunggu beberapa orang. Karena semua melongok ke dasar tong, saya juga tertarik untuk melakukan hal yang sama. Nun di bawah sana ada sebuah motor butut yang sedang di tune-in oleh seorang pemuda yang saya asumsikan sebagai penunggangnya, penghibur kami malam itu. Motornya benar-benar butut dan pretelan, tinggal mesin, kerangka dan roda. Pokoknya kalau di jalan raya pasti sudah menjadi makanan empuk polantas.

Kayu-kayu yang membentuk tong raksasa itu terlihat sudah lapuk dan berhiaskan noda oli di sana-sini. Tidak ada alat pengaman sama sekali, bahkan sekedar helm pelindung kepala. Namun semua itu tampaknya tidak mengganggu si pengendara. Ia berputar-putar di dasar tong melakukan pemanasan. Dan pertunjukan pun dimulai. Sang pengendara motor yang gagah berani itu berputar-putar di dinding tong menentang gravitasi bumi. Memanfaatkan gaya sentrifugal, atau sentripetal, saya lupa yang mana. Setelah beberapa saat dia memandang kami sambil bersedekap. Anehnya gasnya tidak mengendur. Sesekali ia naik sampai ke bibir tong dan dengan kemahiran yang luar biasa kembali menukik ke dasar tong. Sedikit salah perhitungan pasti ia sudah terbang ke luar tong dan menciptakan pertunjukan yang selama ini hanya saya tonton dari Word's Amazing Video. Istri saya hanya melongok sedikit ke dalam tong, dan dengan bijak segera menjauh. Ia lebih tertarik untuk tenggelam ke dunia arum manisnya.

Salah seorang dari penonton, mungkin teman si pengendara, melambaikan selembar uang ribuan, memancing kami untuk melakukan hal yang sama. Uang itu segera disambar dengan kecekatan yang luarbiasa. Tak cukup dengan tangan, si teman kemudian menggigit lembaran uang itu dan menyodorkan wajahnya ke bibir tong. Dengan teknik yang sempurna uang itu berpindah ke tangan. Beberapa orang penonton melakukan hal yang sama. Tak ingin ketinggalan, dengan jantung berdegup, saya merogoh kantong dan melambaikan selembar ribuan.

Detak jantung saya tambah kencang ketika si pengendara melihat uang yang saya lambaikan dan mulai mengincar dari dasar tong. Semuanya terjadi begitu cepat. Dalam sekejap uang itu hilang dari tangan saya seiring dengan raungan motor dan bau asap knalpot. Motor butut tanpa spion dan lampu apapun itu berkelebat hanya beberapa senti dari wajah saya. Seandainya si pengendara hilang konsentrasi, saya pasti akan membutuhkan beberapa jahitan, atau mungkin gips penyangga leher. Benar-benar bentuk hiburan yang aneh. Sama seperti orang-orang konyol di Spanyol yang dengan sukarela menyediakan diri untuk dikejar banteng. Di dalam hati saya menyimpulkan bahwa jika suatu saat memang harus nyawer, saya lebih suka melakukannya kepada penyanyi organ tunggal atau penari tayub.

Setelah hampir seperempat jam, si pengendara melambaikan tangan menandakan bahwa pertunjukan telah usai. Dengan lembaran-lembaran uang seribuan yang bertebaran di dasar tong, tampaknya ia cukup senang. Dan saya pun lega karena semua orang selamat dari cedera. Saya menengok ke belakang dan mendapati istri saya sedang tersenyum. "Puas?", tanyanya singkat. Saya tidak tahu harus menjawab apa.

Thursday, February 02, 2006

The Finer Things in Life

As I have long suspected, beauty is not only dependent on the eye of the beholder, but also on whether it is readily available. Take the people who live in Pangandaran or Pelabuhan Ratu, for example. You don't see them sitting all day admiring the beach. It's just everyday stuff for them.

By following the same logical reasoning, I found out that I can understand celebrity divorces better. Beauty, although it certainly helps, is not everything.

That is also why despite the fact that my wife is not a glamorous supermodel, or pornstar for that matter, there are times--such as when it's raining outside and she holds her cup of hot tea with both hands, sipping her tea while looking at me--when I can't help but tell my self, goddamn! she is beautiful.